;head> https://schema.org Putusan MK Tegaskan Batasan, Bukan Larangan Total: Polri Tetap Bisa Menduduki Jabatan Sipil Berbasis Penegakan Hukum

test

Putusan MK Tegaskan Batasan, Bukan Larangan Total: Polri Tetap Bisa Menduduki Jabatan Sipil Berbasis Penegakan Hukum

Redaksi
Minggu, 16 November 2025

 

Istimewa 


Oleh: Assist. Prof. Mochammad Farisi, LL.M – Dosen Fakultas Hukum UNJA


MEDIAWARTA.NET,Jakarta- Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 114/PUU-XXIII/2025 memunculkan kembali diskursus tentang boleh tidaknya anggota Polri aktif menduduki jabatan sipil. Namun seperti ditegaskan dalam amar dan pertimbangan hukumnya, MK sama sekali tidak membatasi secara total ruang penugasan polisi aktif di luar institusi Polri. Yang dilarang MK hanya satu: jabatan sipil administratif yang tidak berkaitan dengan fungsi kepolisian.


Dalam putusan tersebut, MK menghapus frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri karena dianggap membuka peluang penyimpangan dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Namun, penghapusan itu tidak dapat dimaknai sebagai penutupan penuh terhadap penugasan Polri aktif. Pembacaan komprehensif terhadap putusan MK justru mengarah pada pemisahan tegas antara jabatan yang layak diisi anggota Polri aktif dan jabatan yang tidak seharusnya ditempati.


MK tetap memberikan ruang bagi Polri aktif untuk menduduki jabatan yang secara inheren terkait penegakan hukum, seperti penyidikan, penindakan, intelijen, dan operasi keamanan. Jabatan-jabatan tersebut menuntut kompetensi teknis kepolisian yang tidak dimiliki oleh ASN pada umumnya, sehingga negara tetap membutuhkan kehadiran Polri dalam skema interoperabilitas antarlembaga.


Karena itu, jabatan sipil administratif seperti direktur jenderal pada kementerian yang bersifat sektoral, staf ahli bidang non-keamanan, hingga pejabat struktural birokrasi murni memang sepatutnya tidak ditempati oleh anggota Polri aktif. Penempatan tersebut berpotensi mengganggu meritokrasi ASN dan membuka ruang “dwifungsi baru”. Sebaliknya, jabatan di lembaga penegakan hukum dan keamanan—seperti BNN, KPK, BNPT, maupun Bakamla—tetap relevan secara konstitusional. Penugasan perwira Polri sebagai penyidik KPK, deputi penindakan di BNN, atau pejabat operasional di BNPT adalah bagian dari kebutuhan negara menghadapi kejahatan serius seperti terorisme, narkotika, korupsi, hingga kejahatan lintas negara.


Karena itu, langkah paling realistis setelah keluarnya putusan MK bukanlah menarik seluruh anggota Polri dari jabatan sipil, melainkan menata ulang skema penugasan (secondment) agar tidak salah arah. Pemerintah, Polri, dan kementerian/lembaga terkait perlu menyusun daftar jabatan mana yang termasuk kategori administratif sipil—dan karenanya dilarang—serta daftar jabatan berbasis penegakan hukum yang tetap diperbolehkan.


Pembacaan proporsional terhadap putusan MK menjadi penting agar publik tidak terjebak pada tafsir keliru. MK tidak melarang total penugasan anggota Polri aktif. MK hanya memberi batas tegas: polisi tidak boleh ditempatkan pada jabatan sipil murni yang tidak berhubungan dengan tugas-tugas kepolisian. Namun untuk jabatan yang menjalankan fungsi penegakan hukum, Polri tetap diperbolehkan, bahkan sangat dibutuhkan.


Dalam konteks tantangan keamanan yang semakin kompleks, penegasan batas inilah yang justru memastikan profesionalisme tanpa menghambat kebutuhan strategis negara.

Related Posts