![]() |
Advokat Wilmar Group, Marcella Santoso |
MEDIAWARTA.NET, JAKARTA – Kejaksaan Agung (Kejagung) menayangkan rekaman video berdurasi 3 menit 35 detik yang menampilkan permintaan maaf dari Advokat Wilmar Group, Marcella Santoso. Dalam video tersebut, Marcella yang mengenakan rompi tahanan berwarna merah muda tampak menangis saat mengakui perbuatannya merintangi proses penyidikan melalui penyebaran narasi pemberitaan negatif yang menyudutkan institusi Kejagung.
Marcella mengaku framing negatif yang disusunnya tidak sesuai dengan konteks perkara dugaan korupsi pemberian persetujuan ekspor (PE) crude palm oil (CPO) atau minyak kelapa sawit mentah untuk periode Januari 2021 hingga Maret 2022.
"Saya menyadari di dalam proses penanganan perkara ini, terdapat posting-an yang sebenarnya sama sekali tidak terkait dengan perkara yang ditangani,” ucap Marcella dalam video yang diputar di Gedung Bundar Jampidsus, Jakarta Selatan, Selasa (17/6/2025).
Ia pun menyampaikan permintaan maaf secara terbuka kepada jajaran Kejagung, termasuk Jaksa Agung ST Burhanuddin, Jampidsus Febrie Adriansyah, dan Direktur Penyidikan Jampidsus Abdul Qohar. Marcella juga mengakui framing tersebut turut menyeret isu yang berkaitan dengan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto melalui narasi revisi RUU TNI dan aksi "Indonesia Gelap".
“Antara lain, terkait dengan isu kehidupan pribadi Bapak Jaksa Agung, isu Jampidsus, isu Bapak Dirdik, dan bahkan terdapat juga isu pemerintahan Bapak Presiden Prabowo seperti petisi RUU TNI, dan juga Indonesia Gelap,” ujarnya.
Marcella mengakui lalai karena menyebarkan konten tanpa melakukan verifikasi data. Meski tidak menyebutkan secara rinci isi konten tersebut, ia menyadari dampak negatif dari perbuatannya.
“Saya menyadari bahwa konten tersebut memberikan rasa sakit bagi pihak-pihak yang terkait dengan itu,” ungkapnya.
Ia menegaskan bahwa tindakannya tidak dilatarbelakangi rasa benci atau permusuhan secara pribadi terhadap institusi Kejagung maupun para pejabat negara.
“Bahwa saya sejujurnya tidak pernah merasa ada ketidaksukaan atau kebencian secara pribadi, baik dengan institusi, ataupun dengan pemerintahan, ataupun dengan personal,” kata Marcella.
Ia pun mengapresiasi kinerja Kejagung yang tetap profesional dalam proses penegakan hukum. Dirinya mengaku baru mengetahui sejumlah konten bermasalah tersebut setelah penyidikan berlangsung.
“Bahwa hingga terdapat konten-konten yang ternyata baru saya ketahui, baru saya ketahui banyak juga di dalam penyidikan ini,” jelasnya.
Sebelumnya, Kejagung menetapkan Marcella Santoso (MS), dosen Junaedi Saibih (JS), serta Direktur Pemberitaan JakTV Tian Bahtiar (TB) sebagai tersangka obstruction of justice. Direktur Penyidikan Jampidsus Abdul Qohar menjelaskan, persekongkolan bermula saat MS dan JS memerintahkan TB untuk menyebarkan narasi negatif terhadap Kejagung.
Narasi tersebut berkaitan dengan penanganan kasus dugaan korupsi timah di wilayah IUP PT Timah Tbk (2015–2022), perkara korupsi impor gula dengan tersangka Tom Lembong, serta kasus ekspor CPO. JS diketahui menyusun narasi dan metodologi perhitungan kerugian negara untuk membantah hasil perhitungan Kejagung, kemudian disebarkan TB melalui media sosial dan berbagai platform daring.
“Kejaksaan pun dinilai negatif dan telah merugikan hak-hak tersangka atau terdakwa yang ditangani tersangka MS dan JS selaku penasihat hukum,” ungkap Qohar.
Selain itu, MS dan JS juga membiayai penyelenggaraan seminar, podcast, dan demonstrasi untuk membentuk opini publik guna mempengaruhi proses persidangan. Seluruh kegiatan tersebut disebarluaskan melalui akun resmi JakTV, TikTok, dan YouTube oleh TB.
“Tujuan mereka jelas, yakni membentuk opini negatif terhadap penyidik agar perkara dapat dibebaskan atau minimal mengganggu konsentrasi penyidikan,” tegas Qohar.
TB disebut menerima dana Rp478,5 juta tanpa kontrak resmi dengan JakTV, yang dinilai sebagai penyalahgunaan wewenang.
Dalam kasus ini, Kejagung juga menetapkan M Adhiya Muzakki (MAM) sebagai tersangka. Bersama MS, JS, dan TB, ia diduga menyusun serta menyebarkan konten negatif terkait ketiga perkara yang ditangani Kejagung.
“Tersangka MAM dan tersangka TB bersepakat dengan tersangka MS dan tersangka JS untuk membuat berita-berita negatif dan konten-konten negatif yang menyudutkan Kejaksaan Agung,” tutur Qohar.
MAM diketahui membentuk lima tim buzzer bernama Mustafa I–V yang melibatkan 150 orang, masing-masing menerima bayaran Rp1,5 juta untuk menyebar komentar negatif di media sosial. Ia juga memproduksi video berisi pernyataan MS dan JS yang membantah keabsahan perhitungan kerugian negara versi Kejagung.
Tak hanya itu, MAM turut menghilangkan barang bukti berupa telepon genggam yang berisi percakapannya dengan MS dan JS.
“Tujuan mereka membentuk opini negatif kepada penyidik dan pimpinan Kejagung agar perkara gagal atau tidak terbukti,” kata Qohar.
Atas perannya sebagai koordinator buzzer, MAM menerima dana Rp864,5 juta dari MS melalui staf keuangan Ariyanto Arnaldo Law Firm (AALF).
Para tersangka dijerat Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Editor Chan