BUYA HAMKA: ULAMA BESAR YANG DIZALIMI POLITIK, TETAP TEGUH DALAM IMAN DAN INTEGRITAS

test

BUYA HAMKA: ULAMA BESAR YANG DIZALIMI POLITIK, TETAP TEGUH DALAM IMAN DAN INTEGRITAS

Rum
Sabtu, 31 Mei 2025

 

Buya Hamka





MEDIAWARTA.NET, Jakarta,  — Haji Abdul Malik Karim Amrullah, yang lebih dikenal sebagai Buya Hamka, bukan hanya sosok ulama dan sastrawan ternama, tetapi juga seorang tokoh nasional yang pernah mengalami getirnya politik dan kekuasaan. Dalam perjalanan hidupnya, Buya Hamka menghadapi fitnah dan pemenjaraan, namun tetap berdiri teguh dengan integritas dan keikhlasannya (31/05/2025). 



Buya Hamka lahir di Maninjau, Sumatera Barat, pada 17 Februari 1908. Sejak usia muda, ia sudah menunjukkan ketertarikan besar pada ilmu agama dan dunia kepenulisan. Ia belajar secara otodidak, lalu melanjutkan pendidikannya ke Mekah, tempat ia memperdalam pemahaman Islam dan bertemu dengan ide-ide pembaruan dari dunia Islam modern.



Dalam dunia dakwah dan politik, Buya Hamka aktif di organisasi Muhammadiyah dan menjadi penggerak pembaruan pemikiran Islam di Indonesia. Ia juga terjun ke dunia politik dan menjadi anggota Konstituante dari Partai Masyumi—salah satu partai Islam terkemuka pada masa itu. Masyumi dikenal sebagai partai yang kritis terhadap kebijakan Presiden Soekarno.


Namun, konflik ideologis dan situasi politik yang memanas di era Orde Lama membuat banyak tokoh Masyumi menjadi sasaran represi. Buya Hamka dituduh memiliki hubungan dengan pemberontakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia), sebuah gerakan bersenjata yang terjadi di Sumatera Barat pada tahun 1958. Tuduhan tersebut dianggap tidak berdasar, namun cukup untuk menjadikannya sebagai tahanan politik.


Pada tahun 1964, Buya Hamka dijebloskan ke penjara oleh rezim Soekarno tanpa proses pengadilan yang adil. Ia dipenjara selama dua tahun empat bulan di Rumah Tahanan Salemba, Jakarta. Meski dalam penjara, Buya Hamka tetap produktif menulis dan merenung. Salah satu karya besarnya, Tafsir Al-Azhar, justru lahir dari masa tahanannya tersebut.


Setelah rezim berganti dan pemerintahan Soeharto naik, Buya Hamka dibebaskan dan direhabilitasi. Ia kemudian diangkat sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama pada tahun 1975. Namun, pada 1981, ia mengundurkan diri dari jabatannya karena menolak permintaan pemerintah untuk mengubah fatwa haram terhadap perayaan Natal bersama umat Muslim.


Buya Hamka wafat pada 24 Juli 1981. Meskipun telah tiada, jejak perjuangan dan keteladanannya terus hidup di hati masyarakat Indonesia. Ia adalah simbol dari ulama yang tidak tunduk pada tekanan politik, dan tetap menjunjung tinggi kebenaran, kejujuran, dan keadilan.



Redaksi 


Related Posts