![]() |
Foto Doc |
MEDIAWARTA.NET Banjarmasin – Aroma skandal politik kian menyengat. LSM Sekutu (Sahabat Anti Kecurangan Bersatu) bersama WRC Indonesia (Watch Relation Corruption – Pengawas Aset Negara RI) menggebrak Ditreskrimsus Polda Kalimantan Selatan di Jalan Ahmad Yani Km 3,5, Kamis (18/9/2025). Mereka mendesak aparat menindak tegas seluruh pihak yang diduga menikmati aliran dana korupsi pembelian tanah fiktif di Kabupaten Tanah Bumbu, yang disebut-sebut merembet ke panggung politik.
Ketua WRC Kalsel Hendarto Sudrajad menuding proses hukum berjalan timpang dan sarat perlindungan terhadap elit.
“Sejauh ini hanya tiga orang yang disidangkan. Sementara penerima aliran dana seperti mantan Bupati Tanah Bumbu Zairullah Azhar dan anggota DPRD Kalsel dr. Yadi Mahendra belum dijadikan tersangka. Ini bentuk ketidakadilan yang nyata,” tegas Hendarto.
Hendarto menekankan, dr. Yadi Mahendra diduga menerima Rp1 miliar untuk kegiatan kampanye politiknya sebagai calon DPRD Provinsi Kalsel pada Pemilu 2024, sebagaimana tercantum dalam berkas perkara di website Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri Banjarmasin.
Tak hanya itu, Andi Agung juga disebut menerima aliran dana Rp1,15 miliar untuk operasional pemenangan Yadi Mahendra, sekaligus mengantarkan Rusdiansyah (DPRD Prov Kalsel) dan Syamsul Alam (DPR RI).
“Dana korupsi dipakai berpolitik. Ini bukan sekadar tindak pidana korupsi, tapi sudah merusak demokrasi,” kecam Hendarto.
Juru bicara LSM Sekutu, Budi, menilai aparat penegak hukum tebang pilih.
“Korupsi selalu melibatkan dua pihak: pemberi dan penerima. Kalau hanya pemberi yang dijerat, logika hukum menjadi pincang. Mengapa penerima tidak ikut diseret? Terlihat jelas ada upaya melindungi Zairullah dan Yadi Mahendra,” sindir Budi pedas.
Menurut Budi, pengakuan para tersangka seharusnya cukup untuk menindak penerima dana.
“Ini satu rangkaian kasus. Polisi justru menolak audiensi dan berkilah menunggu putusan pengadilan, padahal dalam surat dakwaan Zairullah Azhar sudah disebut sebagai penerima,” katanya.
Ketua LSM Sekutu Aliansyah menyebut penegakan hukum di Kalsel bak pisau tumpul ke atas.
“Kasus Mama Khas Banjar, rakyat kecil langsung diusut bahkan ke Jakarta. Tapi kalau menyentuh mantan bupati, mereka ciut. Hukum kita tajam ke bawah, tumpul ke atas,” ujarnya lantang.
Aliansyah menilai Kejaksaan jauh lebih berani.
“Kejaksaan Kalsel cepat menetapkan mantan bupati Tabalong dan mantan Sekda Balangan sebagai tersangka. Sementara di Polda Kalsel, kesannya cuma ‘kira-kira mau bekerja’. Satu instansi benar-benar bekerja, satunya hanya pura-pura,” ucapnya satir.
Kasus yang disorot LSM Sekutu dan WRC Indonesia ini terkait dugaan pembelian tanah fiktif oleh Pemkab Tanah Bumbu. Skemanya: anggaran negara dipakai membeli tanah negara, lalu dana hasil transaksi gelap itu diduga disalurkan untuk kepentingan politik sejumlah tokoh.
“Kenapa hanya anak buah yang jadi tumbal? Bupati yang merancang anggaran dan menyalurkan uang justru tak tersentuh. Ini skandal besar yang merusak demokrasi dan harus dibongkar tuntas,” tutup Aliansyah. (Red/tim)